Miduana, Revitalisasi Kampung Adat dalam Melestarikan Kebudayaan Indonesia

blog banner
27 April 2024
Wina Rezky Agustina *)

Miduana, Revitalisasi Kampung Adat dalam Melestarikan Kebudayaan Indonesia

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bersifat majemuk baik dari segi suku bangsa maupun dari segi budayanya. Kemajemukan ini diterjemahkan dalam falsafah Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda (suku bangsa) namun memiliki satu tujuan (Indonesia yang Adil dan Makmur). Apabila dilihat secara mendalam, dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia, budaya yang mereka pahami dan laksanakan memiliki kandungan nilai budaya yang sangat luhur. Kearifan lokal dari sebuah suku bangsa menempatkan ranking paling tinggi dalam menjaga keutuhan sebuah suku bangsa karena menjadi pedoman dalam interaksi baik antar-sesama (manusia), maupun dengan alam lingkungannya.


Ciri khas budaya yang selalu bergerak mengikuti alur yang dikehendaki masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor penarik (pull factor) maupun factor pendorong (push factor) mengakibatkan sebuah suku bangsa bergerak di dua sisi yang berlawanan. Masyarakat sebagai kesatuan hidup manusia yang saling berinteraksi dengan menggunakan sarana dan prasarana yang ada. Sarana yang dimaksud adalah mengarah pada segi kesamaan bahasa sehingga setiap anggota masyarakat dapat berkomunikasi satu sama lain (Koentjaraningrat, 1981: 143-146).


Disatu sisi mengembangkan kebudayaannya dengan berpedoman pada nilai luhur budaya tersebut, ataupun justru sebaliknya, suku bangsa tersebut bergerak menjauhi nilai-nilai luhur dari budaya yang dahulu pernah mereka junjung tinggi. Globalisasi yang bersifat ekspansif seakan menggerogoti sedikit demi sedikit tatanan budaya sebuah suku bangsa sehingga lama kelamaan nilai luhur mereka mulai digantikan oleh nilai baru yang tidak sama sekali mendukung nilai budaya asli yang mereka anut (dahulunya). Perkembangan teknologi informasi menambah arus persebaran globalisasi semakin tidak terbendung oleh jarak ataupun kondisi geografis. Tayangan televisi dan dunia cyber membawa dan memudahkan pergeseran dan perubahan unsur-unsur budaya tradisional.


Provinsi Jawa Barat sebagai wilayah penyangga Ibu Kota Negara RI merupakan provinsi dengan tingkat multikultur yang tergolong cukup tinggi. Pengertian multikultur di sini tidak saja oleh adanya migrasi ulang alik atau permanen dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Kultur asing (global) juga menjadi bagian dari keberagaman kultur yang ada di Provinsi Jawa Barat. Secara tidak langsung, efek multikultur ini telah mengakibatkan pergeseran budaya Provinsi Jawa Barat yang identik dengan karakter kesundaannya. Alhasil, struktur bahasa Sunda sedikit demi sedikit mulai dimasuki unsur bahasa lain. Tidak hanya itu, keseganan dan kewibawaan terhadap tokoh masyarakat sudah mulai diisi dengan unsur demokrasi yang “berlebihan”. Dinamika sebuah komunitas adat selalu dilingkupi oleh adanya unsur sosial budaya baru atau asing yang berada di sekitar lingkungan komunitas tersebut. Dengan kata lain, dinamika sebuah system sosial akan selalu menghadapi pergeseran atau bahkan perubahan sosial dalam berbagai bentuk.


Secara faktual setiap daerah di Indonesia terdapat kesatuan-kesatuan masyarakat adat (desa adat) dengan karakteristiknya masing-masing yang telah ada ratusan tahun yang lalu. Kabupaten Cianjur merupakan salah satu kabupaten yang masih memiliki masyarakat adat. Adapun upaya Pemerintah Kabupaten Cianjur dalam melestarikan keberadaan masyarakat adat tersebut dengan menghidupkan kembali (revitalisasi) Kampung Adat yang ada di Kabupaten Cianjur.


Desa adat atau kampung adat adalah susunan asli yang mempunyai hak asal-usul berupa hak mengurus wilayah dan mengurus kehidupan masyarakat hukum adatnya. Adapun yang menjadi tujuan ditetapkannya Kampung Adat adalah untuk menghidupkan kembali peranan tokoh adat dalam dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat, yang diakibatkan oleh semakin kompleknya tata kehidupan di masyarakat sebagai pengaruh urbanisasi penduduk dari daerah lain.


Kampung adat adalah kampung atau desa yang dihuni oleh masyarakat tradisional, dimana pola hidup dan keseharian masyarakatnya masih menjunjung tinggi adat istiadat yang diwariskan oleh leluhur. Kampung adat memiliki daya tarik tersendiri karena kekhasannya, selain itu memiliki hukum adat secara historis mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk artas dasar teroterial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masayarakat desa berdasarkan asal-usul. Seiring dengan pernyataan Koentjaraningrat (1990), kampung sebagai kesatuan manusia yang memiliki empat ciri yaitu interaksi antar warganya, adat istiadat, norma-norma hukum dan aturan khas yang mengatur seluruh pola tingkah lakunya. Kampung berada di kota maupun desa dengan arah pembangunan horizontal. Kampung di kota sangat berbeda dengan kampung di desa dimana lahan untuk dibangun masih tersedia luas dan setiap rumah dapat mempunyai perkarangan (lahan hijau) yang cukup luas, sedangkan kampung di kota biasanya berada di daerah permukiman padat yang cenderung kumuh.

 

Inventarisasi Komunitas Adat


Telah banyak studi budaya pada wilayah komunitas adat yang tersebar di Jawa Barat, di antaranya adalah inventarisasi komunitas adat oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat yang telah mengumpulkan sebanyak delapan komunitas adat, yaitu: Kampung Urug, Kampung Ciptagelar, Kampung Adat Mahmud, Kampung Pulo, Kampung Naga, Kampung Kuta, Kampung Dukuh, dan Kampung Sinaresmi (Bidang Kebudayaan Disbudpar Provinsi Jabar, 2009: 1-26). Hasil inventarisasi dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat dapat dikatakan bersifat sementara karena dimungkinkan masih ada kampung adat yang luput dari inventarisasi tersebut. Salah satunya komunitas adat yang ada di Dusun Miduana Desa Balegede Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur, yang lebih dikenal di komunitasnya sendiri yaitu Kampung Adat Miduana.


Padahal keberadaan Kampung Adat Miduana ini bagi  Jawa Barat setidaknya dapat menjadi daya tarik tersendiri karena di lokasi tersebut juga terdapat berbagai peninggalan atau situs yang menarik dan perlu dilestarikan serta dirawat. Seperti Situs Batu Rompe yang diyakini warga sebagai sisa peninggalan ribuan tahun lampau berupa batu menhir yang sudah hancur berkeping (diduga) akibat bencana. Tak jauh dari lokasi Batu Rompe terdapat Arca Cempa Larang Kabuyutan yang dipercaya warga setempat sebagai peninggalan kebudayaan Sunda dan berusia lebih dari 2.000 tahun.

Di kedusunan adat Miduana juga terdapat Kampung Kubang Bodas yang hingga kini masih memelihara adat istiadat kesundaan yang lebih kuat. Terdapat juga situs Goa Ustralia tau Goa Australia, namun untuk mencapai lokasi-lokasi tersebut dibutuhkan persiapan dan perlengkapan perjalanan memadai karena medannya cukup menantang.


Kedusunan Miduana merupakan sebuah perkampungan yang masih berpegang teguh pada tradisi kesundaan yang kuat dalam kehidupan sehari-hari. Dusun tersebut terhampar dalam areal 1041 HA persegi, meliputi 11 rukun tetangga (RT) dan 4 rukun warga (RW) yang dihuni oleh 280 kepala keluarga (KK) terdiri dari 557 laki-laki dan 650 perempuan atau sekitar 1.207 jiwa. Seluruh mata pencaharian warga Dusun Miduana masih mengandalkan sektor pertanian dan masih kukuh menjalankan ‘tetekon’ atau aturan tradisi tata kelola pertanian yang dijalankan secara turun-temurun. Meskipun kini ada di antara penduduk yang selain bertani juga berusaha di sektor lain untuk meningkatkan kesejahteraanya seperti berdagang dan membuka usaha kecil lainnya.


Desa Balegede sendiri secara administratif merupakan salah satu dari 11 desa yang ada di Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur. Yakni Desa Margasari, Wanasari, Naringgul, Malati, Sukabakti, Cinerang, Sukamulya, Wangunsari, Mekarsari, Wangunjaya dan Desa Balegede. Memiliki luas 81,6 km persegi dengan jumlah kepadatan 20,5 jiwa per kilometer persegi. Dengan batas-batas, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung, sebelah barat dengan Kecamatan Cikadu, sebelah timur berbatasan dengan Desa Sukabakti dan sebelah selatan berbatasan dengan Desa Wanasari. Terletak di sebelah selatan Cianjur dengan jarak tempuh ke ibu kota kabupaten mencapai 168 km, sedangkan jarak dari ibu kota Kabupaten Bandung hanya 20 km dengan ketinggian rata-rata 700 mdpl.


Jumlah penduduk Desa Balegede mencapai 6.035 orang, terdiri dari 2.999 penduduk laki-laki dan 3.036 penduduk perempuan atau sebanyak 2.083 KK (Dari data profil desa tahun 2021) Dimana 268 KK adalah kepala keluarga perempuan dan sisanya sebanyak 1.815 KK adalah kepala keluarga laki-laki. Penduduk Desa Balegede jika dilihat dari sisi kesejahteraan keluarga, 817 keluarga termasuk keluarga pra-sejahtera, 542 masuk katagori keluarga sejahtera 1, kemudian 342 keluarga masuk keluarga sejahtera 2 dan 113 masuk keluarga sejahtera 3 serta sisanya sebanyak 220 keluarga masuk level keluarga sejahtera 3 plus.


Sementara itu Kecamatan Naringgul yang memiliki luas 24.377.639 Ha dengan batas sebelah utara Kecamatan Rancabali Kabupaten Bandung, sebelah timur dan selatan berbatasan dengan Kecamatan Cidaun dan sebelah barat dengan Kecamatan Cikadu itu memiliki beragam potensi wisata berbasis alam dan budaya seperti  Air Terjun atau Curug Dendeng di Desa Wangunjaya, Gunung Pabeasan di Desa Malati, Curug Ceret di Desa Naringgul, Curug Marta di Desa Sukamulya, Situ Padli, Arca Cempa Larang Kabuyutan, Arum Jeram Cipandak, Rest Area Naringgul, Kampung Adat Miduana/Bumi Perkemahan Miduana dan Curug Perak di Desa Balegede, kemudian di Desa Mekar sari terdapat Curug Pancuran, Wisata Ofroader, Arung Jeram dan Kampung Adat Datar Kipait.

 


Sejarah Miduana


Menurut kokolot Kampung Adat Miduana, Abah Yayat, Desa Balegede tepat dimana Dusun Miduana ada tidak terlepas dari dua tokoh kembar yang merupakan pendiri Balegede yaitu Eyang Jagat Nata dan Eyang Jagat Niti. Keduanya disebut-sebut merupakan keturunan dari Kerajaan Pajajaran yang mencari tempat pemukiman baru untuk menghindari kemelut yang terjadi di negara Kerajaan Sunda itu menjelang akhir keruntuhannya. Jagat Nata dan Jagat Niti berhasil mendirikan perkampungan baru dan membuat tempat perjumpaan atau pasamoan dengan para koleganya dari berbagai tempat dalam sebuah rumah besar, namanya Balegede atau Bale Gede. Artinya tempat perjumpaan besar. Catatan lain menyebutnya Bale Ageung atau Bale Agung. Selanjutnya Eyang Jagat Niti atau dikenal sebagai Eyang Rangga Sadane memiliki anak bernama Eyang Jiwa Sadana yang kemudian membuka kampung atau dusun Miduana tak jauh dari lokasi Bale Ageung. Bagi warga Miduana Eyang Jiwa Sadana mendapat tempat spesial selain karena sebagai pembuka leuweung peteng atau hutan belantara yang kemudian menjadi tempat tinggal bersama rombongan Jiwa Sadana secara matuh atau menetap.


Berdasarkan catatan pemangku adat Kampung Adat Miduana, Abah Yayat, silsilah pemimpin di Miduana dimulai dari Batara Sayang yang menurunkan para raja di Tatar Sunda hingga Kesultanan Mataram. Sementara bagi sesepuh Miduana, sejarah mereka dimulai dari Eyang Entuk yang merupakan keturunan dari raja-raja Sunda yang kemudian memiliki anak keturunan ke bawah seperti Eyang Gendul Maya, Haliwungan, Eyang Rinaga, Eyang Dalem, Eyang Cetuk, Eyang Mega Wayang, Eyang Rongga Wayang, Eyang Bodas, Eyang Niti atau Eyang Jagat Niti, Eyang Jiwa Sadana, Eyang Mukram, Eyang Para Main atau Eyang Sura hingga Eyang Sukanta. Kini keturunan Eyang Sukanta menjadi kokolot di Kampung Adat Miduana.


Miduana sendiri berasal dari kata Midua artinya terbagi dua. Hal ini berkaitan dengan keberadaan kampung atau dusun tersebut yang berada persis di antara dua sungai Cipandak. Yakni Cipandak hilir dan Cipandak girang yang kemudian bertemu menjadi sungai Cipandak yang dikenal dengan arus sungainya yang landai dan tidak curam. Kampung ini dibuka pertama kali dengan istilah Jogol Alas Roban yang dipimpin Eyang Jiwa Sadana. Saat pertama kali dibuka oleh Jiwa Sadana, Kampung Miduana hanya dihuni oleh sembilan kepala keluarga termasuk Jiwa Sadana. Mereka kemudian turun-temurun beranak cicit di sana hingga kini dengan tetap memegang pikukuh karuhun dengan segala peraturannya.

 

Ragam Budaya Kampung Adat Miduana

 

1. Dongdonan Wali Salapan


Untuk memelihara ‘tataliparanti’ atau adat istiadat itu ada ‘kitab’ tak tertulis yang hanya dihapal di luar kepala oleh para kokolot adat di Kampung Miduana. Mereka menyebutnya Dongdonan Wali Salapan (Petunjuk Sembilan Wali). Kesembilan ‘dongdonan’ itu antara lain: Ciung Wanara, Lutung kasarung, Piit Putih, Heulang Rawing, Singa Batara, Batara Singa, Rambut Sadana, Sapu Jagat dan Balung Tunggal. Dugaan sementara Dongdonan Wali Salapan itu mengacu pada sembilan kepala keluarga atau umpi saat Dusun Miduana dibuka setelah peristiwa Jogol Alas Roban.


Isi dari Dongdonan Wali Salapan itu antara lain meliputi petunjuk dan doa-doa buhun atau mantra saat mengurus lahan pertanian, memelihara ternak, pernikahan atau perjodohan, marak atau menangkap ikan di sungai, syukuran hingga pedoman beradaptasi dengan lingkungan baru. Bagi warga adat Miduana kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa hendaknya harus seiring dengan pemeliharaan dan penghormatan terhadap alam dan lingkungan. Sehingga akan banyak ditemukan istilah pamali terhadap sesuatu yang dilarang dan berpotensi merusak alam dan lingkungan di sekitar wilayah tersebut.


2. Lanjaran Tatali Paranti


Menurut penuturan Abah Yayat, secara turun-temurun di kawasan Kampung Adat Miduana selalu melaksanakan berbagai kegiatan adat. Meskipun pada bagian-bagian ritual tertentu kini sudah tidak dijalankan lagi. Hal tersebut diakui Abah Yayat sebagai sebuah keprihatinan. Beberapa lanjaran talali paranti karuhun seperti tatakrama untuk memulai atau mitembeyan tatanen sudah jarang dilakukan para generasi muda Miduana. Terlebih bagi generasi Miduana yang berada di luar kedusunan tersebut karena alasan pekerjaan, perkawinan, sekolah atau hal lain, namun di Kampung Mandalajaya, Pojok, Pondok Waluh dan Kampung Kubang Bodas beberapa adat istiadat masih terpelihara. Muhammad Alwi salah satu tokoh pemuda setempat menuturkan, di dusunnya hingga kini masih dijalankan beberapa ritual tatanen atau upacara saat mulai bercocok tanam hingga panen tiba. Pada waktu-waktu tertentu yang disepakati seluruh kokolot adat selalu dilaksanakan upacara syukuran tahunan.


Sebagai wujud syukur pada Tuhan Yang Maha Esa dan penghormatan terhadap alam dan lingkungan sekitar warga Dusun Miduana masih menjalankan beberapa ritual tertentu yang bersifat pribadi maupun kelompok. Doa-doa, jampe-jampe atau mantra biasanya ‘didawamkan’ atau dibacakan di luar kepala seperti saat mulai dan menyelesaikan kegiatan, indit-inditan, memulai usaha atau bisnis, bertamu, menanam, ngaseuk (menanam benih padi di ladang), memanen, lintar (mencari ikan di sungai atau di danau), ngaberak (memberi pupuk), nyambut atau membajak hingga peupeuncitan (memotong hewan peliharaan untuk dimakan), semuanya selalu ada bacaan-bacaan khusus. Warga yang tidak hafal biasanya meminta kokolot adat memandunya.


Saat melaksanakan upacara perkawinan warga Dusun Miduana masih menjalankan cara-cara karuhun mereka. Beberapa tahapan kegiatan adat senantiasa dijalankan sejak mulai meminang mampelai perempuan hingga upacara pernikahan. Adapun cara-cara karuhun yang masih dilakukan sampai saat ini di antaranya; Neundeun omong (menyimpan janji), narosan atau nyeureuhan (lamaran), nyandakeun (seserahan), ngeuyeuk seureuh, ngencakeun aisan, ngaras, siraman, ngerikan atau potong rambut, ngabageakeun, akad nikah, sungkeman, saweran, meuleum harupat, nincak endog, ngaleupas japati, dan muka panto.


3. Mandi Kahuripan


Mandi Kahuripan dilaksanakan pada bulan muharam dan berlangsung di Sungai Cipandak. Dipimpin kokolot adat seluruh warga berbondong-bondong dengan tertib sesuai kelompok ‘Dongdonan Wali Salapan’ yang ada di Miduana. Penentuan waktu mandi kahuripan dilakukan oleh musyawarah kokolot adat. Sesajen disiapkan dan rajah panyinglar dibacakan agar seluruh warga mendapatkan kebaikan, keberuntungan, dan keselamatan.


Setelah prosesi adat dilaksanakan semua warga dengan riang gembira berenang di Sungai Cipandak. Warga dilarang membuang kotoran termasuk kencing di sungai selama kegiatan tersebut. Pada saat itu juga kokolot adat akan memerintahkan warga yang hadir untuk tidak membuang sampah atau rungga ke sungai. Sungai harus dijaga kebersihannya karena akan dimanfaatkan oleh warga lainnya di hilir. Mengotori sungai adalah sesuatu yang dilarang.


4. Opatlasan Mulud


Kegiatan ini berlangsung pada setiap tanggal 14 bulan mulud. Semua tokoh adat dari sembilan kelompok kokolot adat hadir saling bertukar pikiran. Warga juga sebagian bisa hadir selama memungkinkan. Dulu acara Opatlasan Mulud dilaksanakan di Bumi Ageung tapi karena pergeseran waktu sering dilaksanakan di salah satu rumah pribadi kokolot adat secara bergiliran.

Acara ini juga disebut sebagai Tabarukan dimana semua wejangan karuhun didiskusikan, termasuk membuka kembali mantra-mantra utama tatali paranti karuhun agar terus bisa dihafal. Kegiatan ini juga sering digabungkan dengan pengajian agar acara semakin sakral. Setelah itu seluruh yang hadir melaksanakan makan bersama yang disuguhkan warga secara sukarela dari masing-masing kampung yang ada di Dusun Miduana.

 

Kesenian Miduana


Masyarakat Kampung Adat Miduana memiliki kecenderungan yang tinggi terhadap kesenian. Disamping beberapa jenis kesenian yang dikenal di masyarakat Sunda lainnya, seperti wayang golek, calung, rengkong, reog, tarawangsa, pantun buhun dan lain-lain. Di Kampung Adat Miduana juga terdapat kesenian khas seperti Wayang Gejlig, Nayuban dan Lais.


Wayang Gejlig adalah sejenis pertunjukan lakon pewayangan yang diperankan oleh beberapa orang warga dan diiringi gamelan secara lengkap. Kadang-kadang menggunakan kostum wayang yang menyerupai wayang golek, namun sering juga dalam beberapa pentas menggunakan pakaian bebas atau sekedar topeng wayang. Seiring perkembangan zaman kesenian ini sudah mulai jarang dipentaskan karena selain karena keterbatasan pemeran yang menguasai cerita wayang juga lemahnya pembinaan terhadap sanggar-sanggar kesenian di Miduana selama ini.


Nayuban atau mungkin ditempat lain disebut Tayuban. Kesenian ini berupa tarian yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan warga Miduana dengan diiringi gamelan dan lebih bersifat hiburan semata. Biasanya ditampilkan pada acara tertentu seperti saat pesta panen atau saat kegiatan hiburan menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Proklamasi 17 Agustus.

Lais adalah sejenis kesenian ketangkasan yang diperankan oleh seorang pemuda yang telah mendapat pelatihan khusus. Kesenian ini diiringi gendang pencak biasanya dilakukan secara rampak. Selanjutnya pemeran Lais akan melakukan berbagai lompatan, jalan-jalan di atas tali yang diikat pada dua bambu gombong setinggi 15 bahkan 20 meter.

 

 

Rekomendasi

 

Setelah melihat permasalahan-permasalahan yang muncul dalam meneliti Kampung Adat Miduana di antaranya yang ditemukan di lapangan terkait dengan penataan Kampung Adat, masih ada kekosongan regulasi dalam pengubahan status kampung menjadi Kampung Adat. Selama ini, belum ada pengawasan memadai dari pemerintah pusat maupun provinsi juga pemerintah daerah Kab. Cianjur. Selanjutnya, sangat mendesak revitalisasi di bidang infrastruktur dan fisik bangunan adat yang sekarang beralih fungsi karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap sebuah pelestarian Kampung Adat. Rekomendasi lain dibutuhkan keterlibatan para akademisi dan praktisi Kampung Adat untuk bekerja sama dalam menciptakan solusi dan revitalisasi guna mengatasi permasalahan-permasalahan penataan Kampung Adat Miduana sesuai dengan ketentuan dan kebijakan terkait dengan tata kelola kampung Adat.


Untuk merevitalisasi Kampung Adat Miduana diperlukan juga keterlibatan para praktisi seni budaya yang berkolaborasi dengan komunitas adat yang ada di Miduana agar menghidupkan kembali sisa-sisa seni budaya tradisi yang sudah punah. Di samping itu juga, dibutuhkan kehadiran dan peran para ahli dan praktisi lingkungan hidup agar kondisi alam dan peninggalan budaya di Miduana dapat dilestarikan dan terpelihara.

 

Kesimpulan

Tradisional dan modern pada prinsipnya hanyalah sebuah rentang waktu yang memisahkan antara budaya dahulu dan sekarang. Unsur-unsur tradisi yang hingga saat ini masih ada merupakan bagian - bagian dari masa lalu yang memiliki nilai lebih dan masih dianut oleh kalangan masyarakat yang percaya bahwa nilai lebih tersebut masih memberikan keuntungan baik dari segi fisik maupun nonfisik (batiniah). Proses pemudaran budaya yang saat ini terjadi disebabkan kurangnya proses regenerasi sehingga nilai tradisi yang memiliki kandungan positif sangat tinggi bagi pengembangan akhlak manusia harus punah begitu saja setelah mereka melihat mayoritas daerah lain (kota besar) memiliki style sangat berbeda dengan dirinya baik dari segi materi maupun gaya.


Perangkat kasundaan masyarakat Kampung Adat Miduana pada masa lalu memang sangat lekat. Mulai dari kesenian tradisional seperti, wayang gejlig, jaipongan, nayuban, kidung buhun, dan sebagainya. Berbagai upacara tradisional mulai dari upacara seputar daur hidup hingga upacara menghormati atau mensyukuri alam. Beberapa aktifitas tersebut di atas menandakan bahwa sangat disayangkan apabila budaya tradisional yang menjadi landasan hidup masyarakat Kampung Adat Miduana begitu saja punah dan digantikan dengan budaya “modern” yang penuh persaingan individual tanpa melihat kondisi lingkungan sekitarnya.

 

Saran

Proses revitalisasi Kampung Adat Miduana membutuhkan adanya regulasi yang memperkuat kedudukan kampung adat itu sendiri baik itu regulasi tingkat Kabupaten, Provinsi, dan Nasional. Selain itu, Diharapkan kepada masyarakat adat setempat melalui pendampingan pemerintah, seniman dan budayawan yang ada di Kab. Cianjur terus menggali kembali adat istiadat dan kebudayaan yang ada di masyarakat untuk memperkuat keberadaan Kampung Adat tersebut, agar berpartisipasi dalam menerapkan, menghidupkan serta melestarikan adat istiadat dan kebudayaan yang ada agar adat istiadat dan kebudayaan yang ada tersebut tidak punah dan mampu bertahan seiring perkembangan zaman. Di samping itu, diperlukan adanya kajian lebih mendalam mencakup potensi sosial budaya, sumber daya manusia, dan alam oleh berbagai instansi terkait. Hasil kajian tersebut diharapkan dapat menciptakan solusi yang mampu mempermudah aktifitas masyarakat dalam melakukan kegiatan sosial dan ekonomi tanpa menghilangkan nilai dan karakter budaya masyarakat Kampung Adat Miduana.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Sumber Buku

Barker, Chris. (2011). Cultural Studies. Bantul: Kreasi Wacana Offset.

 

Hall, Stuart. (1997). Representation: Cultural Representation and Signifying

Practices. London: Sage Publication.

 

Jacob Sumardjo. 2015. Sunda Pola Rasionalitas Budaya. Bandung: Kelir.

 

Peurseun, Van. (1988). Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: PT Kanisius.

 

Sumber Artikel/Jurnal

Irvan Setiawan, (2014). “Cipatat Kolot: Dinamika Kampung Adat di Era

Modernisasi”. Patanjala Bandung.

 

Mukhtar, (2014). “Revitalisasi Kelembagaan Kampung Adat Tengah Kecamatan

Mempura Kabupaten Siak”. JOM FISIP Bina Widya Riau.

 


 

*) Neng Wina Rezky Agustina, S.Sn, M.Sn adalah Ketua Yayasan Kebudayaan Lokatmala Indonesia, pendamping warga Kampung Adat Miduana Desa Balegede Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur – Jawa Barat