Judul: Cinta, Kopi, dan Kekuasaan: Kesaksian Nyai Apun Gencay
Penulis: Saep Lukman
Penerbit: Langgam Pusaka, Tasikmalaya
Tahun Terbit: 2025
Tebal: x + 150 halaman
ISBN: 978-623-8747-97-9
Harga: Rp99.000,00
--------------------------------------------------------------
Dalam semesta fiksi sejarah Indonesia, nama-nama besar seperti Pramoedya Ananta Toer atau Iksaka Banu sudah lama mengisi ruang-ruang narasi perlawanan terhadap kolonialisme. Kini, Saep Lukman menambahkan satu lagi suara yang patut didengar: Nyai Apun Gencay—tokoh perempuan dari Cianjur yang menyuarakan perlawanan bukan dari medan perang, melainkan dari ladang kopi, dapur, dan hati yang terus mengingat.
Novel Cinta, Kopi, dan Kekuasaan tak sekadar berkisah tentang asmara. Ia mengangkat sejarah agraria dan kekuasaan kolonial Belanda yang menindas petani kopi Priangan, namun disampaikan melalui narasi personal: suara seorang perempuan yang hidup di antara cinta, kekuasaan, dan pergulatan identitas.
Apun Gencay bukan sekadar tokoh fiktif. Ia menjelma menjadi saksi sejarah, pembawa warisan budaya, dan simbol ketangguhan perempuan Sunda. Dalam sosoknya terpantul harapan, keberanian, dan pengorbanan. Sebuah gagasan yang sejajar dengan pemikiran Hélène Cixous, feminis Prancis, yang menyatakan bahwa tubuh perempuan menyimpan sejarah yang tak dituliskan dalam kitab resmi kekuasaan.
Kekuatan utama novel ini terletak pada bahasa yang mengalir dengan puitik, namun tidak kehilangan ketajaman sosiologis. Saep Lukman menunjukkan kepekaannya terhadap realitas sejarah dan keindahan ekspresi sastra. Gaya penulisannya menggugah, bahkan dalam adegan-adegan paling sederhana sekalipun.
Mengutip Milan Kundera, “novel adalah eksplorasi eksistensial manusia dalam waktu,” maka novel ini memperlihatkan bagaimana cinta dan perlawanan bisa tumbuh dari rahim penderitaan, dan bagaimana perempuan bisa menjadi subjek sejarah yang setara, bukan sekadar pelengkap kisah besar.
Dialog antara Apun dan Yudira, kekasihnya, bukan melodrama. Ia adalah diskursus sunyi tentang pilihan hidup yang getir: tunduk pada kuasa atau berani berdiri sendiri meski sendirian. Alur cerita diatur rapi, menjauh dari jebakan narasi klise, dengan latar yang hidup: dari pasar Cianjur, rumah bupati, hingga kebun kopi yang menggugah imajinasi pembaca.
Novel ini juga berhasil menyematkan satu tema penting yang kerap luput dari fiksi sejarah Indonesia: kopi sebagai simbol ekonomi-politik kolonial. Penindasan terhadap petani kopi digambarkan dengan detail dan bernas. Sistem penetapan harga oleh VOC dan keterlibatan bupati sebagai perpanjangan tangan kekuasaan kolonial menjadi jantung persoalan.
Sejarah ini sejalan dengan temuan sejarawan Jan Breman dalam Control of Land and Labour in Colonial Java yang menyebut bahwa kopi bukan hanya komoditas, melainkan bagian dari mesin penjajahan yang menghisap tenaga rakyat melalui sistem tanam paksa dan patronase lokal.
Saep Lukman tidak memaksa data ke dalam novel, tetapi membungkusnya dalam narasi yang manusiawi. Inilah bentuk “novel sejarah dari bawah” sebagaimana yang diperjuangkan Howard Zinn dalam tradisi penulisan people’s history: sejarah yang diceritakan dari sudut rakyat biasa, bukan elite penguasa.
Sebagaimana kata Pramoedya, “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari sejarah.” Buku ini adalah bentuk perlawanan terhadap pelupaan kolektif, sebuah upaya menulis sejarah kecil dari sebuah tempat yang kerap luput dari peta besar—Cianjur.
Nilai moralnya kuat: tentang keberanian, pengorbanan, dan pentingnya mempertahankan martabat dalam tekanan. Nilai estetiknya juga menonjol: gaya penceritaan yang merdu, pilihan kata yang ekonomis namun menyentuh, serta deskripsi latar dan emosi tokoh yang hidup.
Namun tentu, tak ada karya yang sempurna. Beberapa bagian dalam novel ini bisa terasa terlalu simbolik, dan beberapa adegan dramatik kadang menabrak kaidah realisme. Tapi semua itu dapat dimaklumi sebagai bagian dari kebebasan artistik, terlebih karena konteks cerita ini adalah fiksi yang sarat pesan historis.
Cinta, Kopi, dan Kekuasaan: Kesaksian Nyai Apun Gencay adalah karya yang penting bagi siapa saja yang peduli pada sejarah, perlawanan, dan suara perempuan. Ia tak hanya menghibur, tetapi juga mengingatkan: bahwa dari kebun kopi di lereng Priangan pun, sejarah bisa ditulis dengan darah, air mata, dan cinta.
Dalam suasana literasi yang sering kehilangan arah, kehadiran novel ini seperti secangkir kopi pagi yang memanggil: mari duduk sebentar, mari ingat kembali—siapa kita, dari mana kita berasal, dan untuk siapa sejarah kita mesti dituturkan.
_________________________________
Penulis: Restu Ayu Pridayanti, S.Tr.Sn., adalah Direktur Galeri & Ekonomi Kreatif Lokatmala Foundation